Sejarah Aksara Jawa - Aksara Jawa, dikenal juga sebagai Hanacaraka dan Carakan adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Sasak Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara Bali. Dalam sehari-hari, penggunaan aksara Jawa umum digantikan dengan huruf Latin yang pertama kali dikenalkan Belanda pada abad ke-19. Aksara Jawa resmi dimasukkan dalam Unicode versi 5.2 sejak 2009. Meskipun begitu, kompleksitas aksara Jawa hanya dapat ditampilkan dalam program dengan teknologi Graphite SIL, seperti browser Firefox dan beberapa prosesor kata open source, sehingga penggunaannya tidak semudah huruf Latin. Kesulitan penggunaan aksara Jawa dalam media digital merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang populernya aksara tersebut selain di kalangan preservasionis.
Sejarah Asal Usul Aksara Jawa
PERIODE HINDU - BUDHA
Tulisan Jawa dan Bali adalah varian modern dari aksara Kawi, salah satu aksara Brahmi hasil perkembangan aksara Pallawayang berkembang di Jawa. Aksara ini dulu digunakan terutama untuk menulis terjemahan Sansekerta, berbagai literatur masa itu juga ditulis dengan Kawi. Tulisan ini kemudian bertransisi menjadi tulisan Jawa selama periode Hindu-Buddha.
|
Sejarah Aksara Jawa |
Aksara Kawi dan Jawa sebenarnya mirip; keduanya memiliki ortografi yang sama, seperti ditulis tanpa spasi, bentuk pasanganuntuk menulis klaster konsonan, dsb. Perbedaan terletak pada bentuk hurufnya, namun pembagiannya tidak begitu jelas karena prasasti-prasasti masa itu cendrung sangat bervariasi dari satu daerah ke yang lain. Aksara Kawi dan Jawa awal juga mempunyai aksara dasar (nglegena) yang lebih banyak, karena huruf murda sertamahaprana belum dibedakan seperti sekarang, dan merepresentasikan bunyi unik dalam Sansekerta. Aksara Jawa pada masa ini disusun secara fonetis, berdasarkan pengaturan Panini, dan menjadi basis dalam penyusunan aksara Jawa dalam Unicode.
PERIODE ISLAM
Periode ini kurang lebih berlangsung dari zaman Kesultanan Demak hingga Pajang akhir, dan teks dari masa tersebut dapat diwakili dengan serat Suluk Wujil dan Serat Ajisaka. Pada masa ini, diperkenalkan urutan pangram hanacaraka untuk memudahkan pengikatan 20 konsonan yang digunakan dalam bahasa Jawa. Perlu diperhatikan bahwa aksara murda dan mahaprana tidak diikutsertakan dalam urutan tersebut. Hal ini disebabkan karena huruf-huruf murda dan mahapranamerepresentasikan bunyi yang tidak ada dalam bahasa Jawa asli dan lebih banyak berfungsi dalam terjemahan Sansekerta, karena itu penggunaannya menurun semenjak perkenalan Islam. Namun kedua jenis huruf tersebut masih dipertahankan untuk pengejaan. Periode ini juga ditandai dengan ditemukannya aksara rekanuntuk kata serapan bahasa Arab, yang mulai banyak digunakan sejalan dengan penyiaran Islam di Nusantara.
Pada abad 17, tulisan Jawa telah dikenal dengan nama Carakan. Periode ini adalah periode ketika aksara Jawa berkembang pada dekade awal perkembangan Islam di Jawa, dan campur tangan bangsa asing (pemerintah Kolonial Hindia Belanda) belum mendominasi ranah politik dan kekuasaan di Jawa. Masa ini berlangsung kurang lebih jaman Demak – akhir Pajang, dan tulisan dalam periode ini diwakili tata tulis aksara Jawa yang terdapat pada teks serat Suluk Wujil dan Serat Ajisaka. Fragmen tersebut terdiri dari 4 baris masing‐masing terdiri dari 5 aksara, menyerupai metrum atau puisi/Sekar Kawi:
- hana caraka (ana utusan)
- data (sabanjuré) sawala (= suwala –kêrêngan)
- pada jayanya (babag kekuwatané)
- maga (ma‐ang‐ga) batanga (bangké) = mangawak bangké = palastra !
Dalam periode ini, pengertian aksara Murda masih belum disamakan dengan huruf kapital seperti halnya dalam tulisan Latin, namun keberadaan aksara Murda yang dipisahkan dari susunan huruf Jawa dasar (nglegana) karena merupakan aksara lama yang keberadaannya tetap dipertahankan, dan penggunaan aksara ini masih sama seperti pada aksara Jawa – Hindu.
Kemudian periode ini juga ditandai dengan digunakannya aksara rekan untuk menyesuaikan penulisan kata-kata Arab yang sudah mulai dikenal masyarakat Jawa kala itu dengan semakin intensifnya dakwah Islam di tanah Jawa.
PERIODE KOLONIAL
Periode ini adalah periode ketika aksara Jawa berkembang pada zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda berkuasa atas tanah Jawa, yang diwakili tata tulis aksara Jawa keluaran ejaan Sriwedari yang terdapat pada teks-teks Jawa yang ditulis sebelum adanya tata eja aksara Jawa Kongres Bahasa Jawa II Malang (1996). Perbedaan yang paling kentara adalah pemakaian aksara Murda pada periode ini, yang walaupun sebagian masih sama perlakuannya untuk aksara murda seperti pada periode-periode sebelumnya, namun sebagian sudah berubah fungsi sebagai huruf kapital layaknya dalam aksara Latin.
Penggunaan (pengejaan) aksara Jawa pertama kali diLokakaryakanpada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan menggunakan aksara ini, sejalan dengan makin meningkatnya volume cetakan menggunakan aksara ini, meskipun pada saat yang sama penggunaan huruf arab pegon dan huruf Latin bagi teks-teks berbahasa Jawa juga meningkat frekuensinya. Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton Sriwedari ("Ketetapan Sriwedari"), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/ (O Jawa). Alih-alih menuliskan "Ronggawarsita" (bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi "Ranggawarsita", mengurangi penggunaan taling-tarung.
Sejarah Perkembangan aksara jawa dari masa ke masa
1. Tata tulis aksara Jawa - Islam (kurun waktu 1600 – 1800)
Masa klasik mewakili tata tulis aksara Jawa sebelum ejaan Sriwedari diresmikan penggunaannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1926. Adapun rujukan penelitian tata tulis pada masa klasik di dasarkan pada dua naskah yaitu naskah Suluk Wujil dan Serat Ajisaka.
a. Gambaran umum tata tulis aksara Jawa dalam Suluk Wujil
Menurut kolofon naskah Suluk Wujil ditulis pada tahun 1529 Saka atau tahun 1607 Masehi. Naskah ini diperkirakan ditulis pada awal abad XVII atau jaman pemerintahan Panembahan Seda Krapyak
b. Gambaran umum tata tulis aksara Jawa dalam serat Ajisaka
Menurut kolofon pada halaman 1r dan 144v, salinan naskah ini dimulai Senen Pon, 23 Besar, Be 1800. “Musna Nir Esthi Raja” (4 Maret 1872) dan selesai Jumat Wage, 10 Sapar, Wawu 1802 [sic.] seharusnya 1801 sehingga didapatkan tanggal 19 April 1872. Masa ini untuk mewakili tata tulis aksara Jawa dimana aksara latin belum dikenal dan belum mendominasi dalam kehidupan orang Jawa
2. Tata tulis aksara Jawa – Kolonial ( kurun waktu 1926 – 1996)
Masa Sriwedari mewakili tata tulis aksara Jawa yang digunakan pada kurun waktu 1926 sampai dengan 1996, sebagai imbas digunakannya ejaan penulisan aksara Jawa oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang kemudian hari dikenal sebagai weton Sriwedari. Tata tulis dekade ini dalam tulisan singkat ini diwakili dengan menggunakan dua bahan yaitu 1). Serat Weddhasangkala yang diterbitkan tahun 1928 dalam huruf Jawa cetak., dan 2). Serat isi tembung kawi mawi tegesipun (kamus Kawi – Jawa) yang terbit tahun 1928 dalam huruf Jawa cetak. Pada masa ini aksara latin telah banyak digunakan oleh masyarakat Jawa disamping aksara Jawa karena imbas dari pengaruh dan kepentingan politik kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda
3. Tata tulis aksara Jawa Modern (1996 - sekarang)
Tata tulis aksara Modern adalah sebuah bentuk pedoman penulisan aksara Jawa yang direkomendasikan melalui Konggres Bahasa Jawa II di Malang tahun 1996. Pedoman penulisan ini seharusnya menjadi acuan saat ini untuk menulis aksara Jawa, namun pada kenyataannya banyak pihak yang notabene-nya masyarakat Jawa tidak mengetahui secara pastiSetelah diamati dan dicermati ternyata kaidah penulisan aksara Jawa dari masa ke masa mengalami perubahan, terlebih lagi setelah adanya sebuah pedoman resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda. hal ini menarik karena kaidah yang digunakan untuk menulis aksara Jawa sebelum tahun 1926 masih gelap bagi kita.
Kaidah – kaidah penulisan kemungkinan juga sudah ada sebelum tahun 1926, hanya saja keterbatasan bahan kajian yang berupa naskah-naskah kuno jauh dari jangkauan kita. Banyak para filolog Jawa selama ini hanya berkutat sebatas penelusuran kesejarahan naskah saja, sehingga kajian tentang bagaimana kaidah penulisan antara naskah satu dan lainnya yang semasa, atau dalam kurun waktu tertentu belum tersentuh dengan sungguh – sungguh, sehingga kita tidak mengetahui secara pasti dalam menggolongkannya ke dalam kaidah – kaidah penulisan aksara Jawa pada naskah – naskah tersebut ditulis.
Penggolongan kaidah penulisan aksara Jawa dalam tulisan ini, hanya sedikit mengupas bagaimana aksara Jawa digunakan sebagai media ekspresi orang Jawa, baik mulai kurun waktu orang Jawa belum terdominasi aksara Latin hingga aksara Latin mendominasi dan aksara Jawa itu sendiri tersisih dari masyarakat Jawa. Hal ini mungkin menarik untuk dikaji ulang karena terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya.
Selama kurun waktu sebelum tahun 1926, kaidah penulisan aksara Jawa masih murni dan belum ada campur tangan asing, dengan kata lain aksara latinlah yang menyesuaikan kaidah ejaan aksara Jawa Kurun waktu tahun 1926 – 1996, kaidah penulisan aksara Jawa masih didasarkan pada kaidah penulisan kurun waktu sebelumnya, hanya saja ada beberapa poin yang Ditambahkan untuk mengimbangi keberadaan aksara latin yang semakin mendominasi masyarakat Jawa, disamping itu juga demi kepentingan Kolonial Belanda. Kurun waktu ini kaidah penulisan aksara Jawa masih memiliki porsi tawar tinggi terhadap keberadaan aksara latin
Kurun waktu 1996 – sekarang, dengan direkomendasikannya kaidah baku penulisan aksara Jawa hasil Konggres Basa Jawa ke II di Malang, maka hasilnya adalah porsi tawar kaidah aksara Jawa menjadi tidak ada karena setiap penulisan kata – kata Jawa dalam aksara Jawa lebih ditekankan kepada bagaimana kata – kata tersebut ditulis dalam aksara latin bukan sebaliknya.