Pengaruh Wales dan Gaelik
Adat dan kebiasaan Halloween masa kini diperkirakan telah dipengaruhi kepercayaan dan adat istiadat masyarakat di negara-negara berbahasa Kelt, yang mana beberapa di antaranya diyakini memiliki dasar pagan. Jack Santino, seorang folkloris, menuliskan bahwa "di seluruh Irlandia terjadi suatu kesepakatan yang meresahkan antara adat istiadat dan keyakinan yang berhubungan dengan Kekristenan dengan semua hal terkait agama-agama Irlandia sebelum masuknya Kekristenan". Sejarawan Nicholas Rogers, saat menelusuri asal mula perayaan Halloween, mencatat bahwa meskipun "beberapa folkloris telah mendeteksi asal mulanya dalam perayaan Romawi kuno Pomona, dewi buah-buahan, atau dalam festival orang mati disebut Parentalia, namun perayaan tersebut secara lebih khusus dikaitkan dengan festival Kelt Samhain", yang mana berasal dari bahasa Irlandia Kuno untuk "akhir musim panas". Samhain (dilafalkan sah-win atau sow-in) merupakan hari yang pertama dan terpenting dari keempat hari-hari kuartal dalam kalender Gaelik abad pertengahan dan dirayakan di Irlandia, Skotlandia, dan Pulau Man. Perayaan dilangsungkan pada atau sekitar tanggal 31 Oktober – 1 November dan suatu festival bagi kaum keluarga diselenggarakan pada waktu bersamaan oleh kaum Kelt Britonik; disebut Calan Gaeaf di Wales, Kalan Gwav di Cornwall, dan Kalan Goañv di Bretagne. Bagi kaum Kelt, hari dimulai dan diakhiri saat matahari terbenam; karenanya, berdasarkan perhitungan modern, festival dimulai pada petang hari menjelang tanggal 1 November. Samhain dan Calan Gaeaf disebutkan dalam beberapa literatur tertua dari Irlandia dan Wales. Nama-nama tersebut telah digunakan oleh para sejarawan untuk merujuk pada adat istiadat Halloween Keltik sampai pada abad ke-19, dan hingga kini masih digunakan sebagai nama-nama Gaelik dan Wales untuk menyebut Halloween.
Samhain/Calan Gaeaf menandai akhir musim panen dan awal musim dingin atau 'paruh yang lebih gelap' dari suatu tahun. Sama seperti Belatane/Calan Mai, perayaan itu dilihat sebagai suatu waktu ambang, ketika batas antara dunia ini dan Dunia lain menipis. Hal ini berarti Aos Sí (dilafalkan ees shee), para 'roh' atau 'peri', dapat lebih mudah datang ke dunia ini dan pandangan ini sangat diyakini mereka. Kebanyakan akademisi melihat Aos Sí sebagai "versi-versi terdegradasi dari para dewa kuno yang mana pengaruhnya masih kuat di dalam benak masyarakat sekalipun telah secara resmi digantikan dengan keyakinan agama setelahnya". Aos Sí dihormati sekaligus ditakuti, bahkan orang-orang seringkali memohon perlindungan Allah ketika pulang ke tempat tinggal mereka. Saat perayaan Samhain, diyakini bahwa Aos Sí perlu ditenangkan untuk memastikan bahwa masyarakat dan ternak mereka dapat bertahan dalam musim dingin. Persembahan makanan dan minuman, atau sebagian hasil panen, ditinggalkan di luar untuk Aos Sí. Jiwa-jiwa orang yang telah meninggal juga dikatakan mengunjungi kembali rumah mereka untuk meminta keramahtamahan. Tempat-tempat telah diatur di meja makan dan dekat perapian untuk menyambut mereka. Keyakinan bahwa jiwa-jiwa orang yang telah meninggal kembali ke rumah pada suatu malam dalam setahun, dan harus ditenteramkan, tampaknya berasal dari tradisi kuno dan ditemukan dalam banyak budaya di seluruh dunia. Di Irlandia abad ke-19, "lilin-lilin akan dinyalakan dan doa-doa secara resmi didaraskan bagi jiwa-jiwa orang yang telah meninggal. Setelah itu acara makan, minum, dan permainan akan dimulai".
Di seluruh Irlandia dan Britania, perayaan dalam rumah tangga meliputi ritual dan permainan yang dimaksudkan untuk meramal masa depan seseorang, khususnya sehubungan dengan kematian dan pernikahan. Kacang-kacangan dan apel seringkali digunakan dalam ritual penenungan ini. Ritual-ritual itu misalnya apple bobbing, menatap bola kristal atau cermin, menuangkan lelehan timbal atau putih telur ke dalam air, dan interpretasi mimpi. Api unggun besar yang istimewa dinyalakan dan berlangsung ritual-ritual yang melibatkannya. Abu, asap, dan nyala apinya dianggap memiliki kuasa pembersihan dan perlindungan, dan juga digunakan untuk menenung. Di beberapa daerah, obor yang dinyalakan dari api unggun itu dibawa mengelilingi rumah dan kebun searah pergerakan matahari dengan harapan mendapat perlindungan.Ada kesan bahwa api tersebut merupakan semacam sihir simpatik atau tiruan –sebagai tiruan Matahari, membantu "kekuatan pertumbuhan" dan menahan kerusakan serta kegelapan musim dingin. Di Skotlandia, permainan tenung dan api unggun ini dilarang oleh para presbiter gereja di sejumlah paroki.Di kemudian hari api unggun ini digunakan untuk "menjauhkan diri dari iblis".
Sejak setidaknya abad ke-16, permainan sandiwara bisu dan penyamaran (guising) disertakan dalam festival tersebut di Irlandia, Skotlandia, Pulau Man, dan Wales. Dalam permainan ini orang-orang berjalan dari rumah ke rumah dengan mengenakan kostum (atau menyamar), dan biasanya melantunkan syair atau nyanyian untuk mendapatkan makanan. Itu mungkin dikarenakan pada awalnya merupakan suatu tradisi di mana orang-orang menyamar sebagai Aos Sí, atau jiwa-jiwa orang yang telah meninggal, dan menerima persembahan atas nama mereka, serupa dengan kebiasaan souling. Menirukan makhluk-makhluk ini, atau mengenakan samaran, juga diyakini dapat melindungi diri sendiri dari mereka.[ Ada pendapat bahwa para pemain sandiwara bisu dan penyamar "menjelma menjadi roh-roh lama musim dingin, menuntut imbalan demi keberuntungan". Di beberapa bagian Irlandia selatan, para penyamar menyertakan kuda hobi. Seorang laki-laki berpakaian seperti Láir Bhán (kuda betina putih) dan memimpin anak-anak muda berkeliling dari rumah ke rumah untuk melantunkan syair —beberapa di antaranya mengandung nada-nada tambahan pagan— demi imbalan makanan. Jika suatu rumah tangga menyumbangkan makanan maka mereka dapat mengharapkan keberuntungan dari 'Muck Olla' tersebut; jika tidak maka akan membawa kemalangan. Di Skotlandia, kaum muda pergi dari rumah ke rumah dengan topeng, wajah dicat atau dihitamkan, seringkali mengancam untuk melakukan kenakalan jika mereka tidak disambut dengan baik.
F. Marian McNeill berpendapat bahwa festival kuno yang melibatkan orang-orang dalam kostum tersebut mewakili roh-roh, dan wajah ditandai (atau dihitamkan) dengan abu yang diambil dari api unggun sakral. Di beberapa belahan Wales, laki-laki yang berpakaian seperti makhluk menakutkan disebut gwrachod. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, orang-orang muda di Glamorgan dan Orkney berlintas-busana. Di bagian lain Eropa, bermain sandiwara bisu dan kuda hobi merupakan bagian dari festival-festival tahunan lainnya. Namun di daerah berbahasa Kelt "secara khusus cocok untuk suatu malam di mana para makhluk gaib dikatakan pergi mengembara dan dapat ditiru atau dihindari oleh para pengembara manusia".Sejak setidaknya abad ke-18, "meniru roh-roh ganas" mengarah pada permainan lelucon di dataran tinggi Skotlandia dan Irlandia.Mengenakan kostum dan bermain lelucon saat Halloween menyebar ke Inggris pada abad ke-20.Bagi yang bermain samaran dan lelucon di luar rumah pada waktu malam, sebagai penerangan tradisional di beberapa tempat digunakan lentera dari turnip atau mangelwurzel yang dilubangi dan seringkali diukir hingga berupa wajah aneh. Oleh mereka yang membuatnya, lentera tersebut dikatakan mewakili roh-roh, atau digunakan untuk menangkal roh-roh jahat. Hal ini umum di sebagian dataran tinggi Skotlandia dan Irlandia pada abad ke-19, serta di Somerset (lihat Malam Punkie). Kemudian pada abad ke-20 menyebar ke bagian lain dari Inggris dan menjadi dikenal secara umum sebagai jack-o'-lantern.
Pengaruh Kekristenan
Adat dan kebiasaan Halloween masa kini juga diduga telah dipengaruhi oleh praktik dan dogma yang berasal dari Kekristenan. Halloween merupakan malam sebelum hari suci Kristen Hari Para Kudus (All Hallows' Day), yang juga disebut Hari Semua Orang Kudus (All Saints') atau Hallowmas, tanggal 1 November dan Hari Semua Jiwa (All Souls' Day) tanggal 2 November, sehingga tanggal 31 Oktober yang merupakan hari libur di beberapa negara ini secara lengkap dinamakan Malam Para Kudus (All Hallows' Eve, yaitu malam sebelum All Hallows' Day). Sejak zaman Gereja perdana,dalam perayaan besar Kekristenan (seperti Natal, Paskah, dan Pentakosta) dilangsungkan vigili yang dimulai pada malam sebelumnya, dan demikian juga dengan Hari Para Kudus. Ketiga hari pada masa tersebut secara kolektif disebut Masa Para Kudus (Allhallowtide) dan merupakan suatu masa untuk menghormati orang-orang kudus, serta berdoa bagi jiwa orang yang telah meninggal yang belum meraih Surga. Peringatan semua orang kudus dan martir diadakan oleh sejumlah gereja pada berbagai tanggal, terutama saat musim semi. Pada tahun 609 atau 610, Paus Bonifasius IV mendedikasikan Pantheon di Roma bagi St. Maria dan Semua Martir pada tanggal 13 Mei. Tanggal itu bertepatan dengan Lemuria, suatu festival arwah dalam tradisi Romawi kuno, serta tanggal yang sama dengan peringatan umum para Santo/Santa yang berlangsung di Edessa pada zaman Efrem.
Pesta Semua Orang Kudus, pada tanggalnya sekarang dalam Gereja Barat, dapat ditelusuri dari pendirian suatu oratorium di Basilika Santo Petrus Lama oleh Paus Gregorius III (731–741) bagi relikui-relikui "dari para rasul suci dan semua orang kudus, martir, serta pengaku iman". Pada tahun 835 tanggal perayaan ini secara resmi dipindahkan ke 1 November, tanggal yang sama dengan Samhain, atas perintah dari Paus Gregorius IV. Beberapa kalangan berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh pengaruh bangsa Keltik, sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa ini adalah gagasan bangsa Jermanik, kendati terdapat klaim bahwa baik mereka yang berbahasa Keltik maupun Jermanik memperingati orang meninggal pada awal musim dingin. Mereka mungkin menganggap hal itu sebagai saat yang paling tepat untuk melakukannya, karena merupakan saat 'sekarat' di alam. Ada juga dugaan bahwa perubahan tersebut dilakukan karena "alasan praktis bahwa Roma saat musim panas tidak dapat menampung sejumlah besar peziarah yang berbondong-bondong ke sana", dan mungkin disebabkan pertimbangan kesehatan masyarakat berkenaan dengan Demam Romawi – suatu penyakit yang merenggut sejumlah nyawa selama musim panas yang pengap di daerah tersebut.
Pada Malam Para Kudus, umat Kristen di beberapa belahan dunia mengunjungi pemakaman untuk berdoa dan menempatkan bunga serta lilin pada makam orang yang mereka cintai.[78] Foto atas memperlihatkan umat Kristen di Bangladesh menyalakan lilin di atas makam, sementara foto bawah memperlihatkan umat Kristen Lutheran berdoa dan menyalakan lilin di depan salib. Pada akhir abad ke-12 hari-hari tersebut menjadi hari raya wajib di seluruh Eropa dan mencakup berbagai tradisi seperti membunyikan lonceng gereja bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Selain itu, "merupakan hal yang lazim bagi para juru siar mengenakan pakaian serba hitam untuk berpawai di jalan-jalan, membunyikan sebuah bel dengan suara memilukan dan menyerukan kepada semua umat Kristen yang berkehendak baik untuk mengenang jiwa-jiwa yang malang tersebut." Ada pendapat yang mengatakan bahwa souling, yaitu kebiasaan membuat dan berbagi kue jiwa bagi semua jiwa yang telah dibaptis, merupakan asal mula trick-or-treating. Kebiasaan tersebut berawal dari, setidaknya, abad ke-15dan ditemukan di berbagai penjuru Inggris, Flandria, Jerman, dan Austria. Sekelompok kaum miskin, seringkali anak-anak, pergi dari pintu ke pintu sepanjang Masa Para Kudus untuk mengumpulkan kue-kue jiwa sebagai imbalan atas doa bagi yang telah meninggal dunia, khususnya jiwa-jiwa para teman dan kerabat sang pemberi kue-kue tersebut. Kue jiwa juga dipersembahkan bagi jiwa-jiwa itu untuk dimakan, atau diberikan kepada kaum miskin yang berkeliling tersebut —yang dipandang mewakili mereka. Sebagaimana roti salib panas dalam tradisi Prapaskah, kue jiwa pada Masa Para Kudus seringkali ditandai dengan sebuah salib, mengindikasikan bahwa pembuatan kue-kue itu dimaksudkan sebagai derma. Shakespeare menyebut souling dalam komedinya The Two Gentlemen of Verona (1593).
Mengenai kebiasaan mengenakan kostum, Prince Sorie Conteh, seorang pendeta Kristen, menuliskan: "Secara tradisi diyakini bahwa jiwa mereka yang telah meninggal dunia mengembara di bumi sampai pada Hari Semua Orang Kudus, dan Malam Para Kudus merupakan kesempatan terakhir bagi yang telah meninggal untuk melakukan pembalasan kepada musuh-musuh mereka sebelum beralih ke dunia berikutnya. Agar tidak dikenali para jiwa yang mungkin berusaha melakukan pembalasan itu, orang-orang mengenakan topeng atau kostum untuk menyamarkan identitas mereka". Dikatakan bahwa, pada Abad Pertengahan, dalam gereja-gereja yang terlalu miskin untuk dapat mempertunjukkan relikui para martir pada Masa Para Kudus mengizinkan umatnya untuk berpakaian seperti para santo/santa. Beberapa kalangan Kristen mempraktikkan kebiasaan itu pada perayaan Halloween masa kini. Lesley Bannatyne, seorang penulis Amerika, meyakini bahwa kebiasaan itu mungkin merupakan suatu Kristenisasi dari suatu kebiasaan pagan sebelumnya. Telah dikemukakan bahwa jack-o'-lantern, suatu simbol populer Halloween, pada awalnya merepresentasikan para jiwa orang yang telah meninggal. Saat Halloween, di Eropa abad pertengahan, "api-api dinyalakan untuk memandu jiwa-jiwa ini dalam perjalanan mereka dan memalingkan mereka agar tidak menghantui kaum Kristen yang lurus hati." Rumah tangga di Austria, Inggris, dan Irlandia seringkali harus "menyalakan lilin di setiap ruangan untuk memandu jiwa-jiwa tersebut mengunjungi kembali kediaman duniawi mereka". Lilin-lilin tersebut dikenal sebagai "cahaya jiwa".
Banyak umat Kristen di daratan Eropa, terutama di Perancis, mempercayai bahwa "sekali setahun, saat Hallowe'en, arwah mereka yang dimakamkan di halaman gereja bangkit untuk melangsungkan suatu karnaval yang liar dan mengerikan" yang dikenal sebagai Danse Macabre (Tarian Kematian), yang mana sering digambarkan dalam dekorasi gereja. Christopher Allmand dan Rosamond McKitterick menuliskan dalam The New Cambridge Medieval History bahwa "umat Kristen tergerak oleh penglihatan Kanak-kanak Yesus yang bermain di pangkuan ibu-Nya; hati mereka tersentuh oleh Pietà; dan para santo pelindung meyakinkan umat akan kehadiran mereka. Tetapi, sementara itu, danse macabre mendesak umat agar tidak melupakan akhir dari semua hal duniawi."[98] Sebuah artikel yang diterbitkan oleh Christianity Today mengklaim bahwa danse macabre diadakan di pertunjukan pedesaan dan masque (suatu acara hiburan mengenai pengadilan), di mana orang-orang "berdandan seperti mayat-mayat dari berbagai lapisan masyarakat", dan mengajukan pendapat bahwa hal ini merupakan asal mula pesta kostum Halloween.
Di berbagai belahan Britania Raya, kebiasaan-kebiasaan ini mendapat serangan selama Reformasi Inggris karena beberapa kalangan Protestan mencerca purgatorium sebagai suatu doktrin "papisme" yang tidak sesuai dengan gagasan mereka mengenai predestinasi. Sehingga, bagi beberapa kalangan Protestan Nonkonformis, teologi Malam Para Kudus didefinisikan kembali; dengan mengesampingkan doktrin purgatorium, "jiwa-jiwa yang telah berpulang tidak dapat berkelana ke Purgatorium dalam perjalanan mereka ke Surga, sebagaimana yang umat Katolik sering percayai dan tegaskan. Sebaliknya, yang disebut hantu dianggap sebagai roh-roh jahat dalam kenyataannya. Karenanya mereka menebar ancaman." Kalangan Protestan lainnya mempertahankan keyakinan mengenai keadaan antara, yang dikenal sebagai Hades (Pangkuan Abraham), dan tetap merayakan berbagai kebiasaan aslinya, terutama souling, prosesi lilin, serta membunyikan lonceng gereja untuk mengenang mereka yang telah meninggal. Berkenaan dengan roh jahat, saat Halloween, "lumbung dan rumah diberkati untuk melindungi semua orang dan ternak dari pengaruh penyihir, yang diyakini mengiringi roh-roh ganas saat mereka berkelana di bumi." Pada abad ke-19, di beberapa bagian pedesaan Inggris, para keluarga berkumpul di bukit-bukit pada malam All Hallows' Eve. Salah satu orang mengangkat seikat jerami yang dibakar dengan sebuah garpu panjang, sementara yang lain berlutut di sekelilingnya dalam lingkaran sambil berdoa bagi jiwa-jiwa kerabat dan teman mereka sampai api tersebut padam. Kebiasaan ini dikenal dengan nama teen'lay, yang berasal baik dari bahasa Inggris Kuno tendan (mengobarkan) ataupun suatu kata yang berhubungan dengan bahasa Irlandia Kuno tenlach (perapian). Meningkatnya popularitas Malam Guy Fawkes (5 November), sejak tahun 1605 dan seterusnya, membuat banyak tradisi Halloween goyah karena disesuaikan dengan hari libur tersebut dan popularitas Halloween memudar di Britania Raya, dengan Skotlandia sebagai pengecualian yang patut dicatat. Di sana dan di Irlandia, mereka telah merayakan Samhain dan Halloween setidaknya sejak Abad Pertengahan Awal; dan kirk Skotlandia (Gereja Skotlandia) melakukan pendekatan yang lebih pragmatis terhadap Halloween, dengan memandangnya penting untuk siklus kehidupan dan ritual peralihan di masyarakat dan karenanya memastikan kelestarian perayaan itu di negara tersebut.
Di Perancis, beberapa keluarga Kristen pada malam All Hallows' Eve berdoa di samping makam orang-orang yang mereka cintai, dan meletakkan pinggan-pinggan penuh susu bagi mereka.[94] Saat Halloween di Italia, beberapa keluarga meninggalkan suatu hidangan makanan besar untuk hantu kerabat mereka yang meninggal dunia, sebelum keluarga tersebut berangkat menuju ibadah gereja.Di Spanyol, saat malam tersebut, dibuat kue pastri istimewa yang dikenal sebagai "tulang belulang sang suci" (bahasa Spanyol: Huesos de Santo) dan menaruhnya pada makam-makam di halaman gereja, suatu praktik yang terus berlanjut hingga saat ini.
Penyebaran ke Amerika Utara
Acara tahunan Greenwich Village Halloween Parade di Kota New York merupakan parade Halloween terbesar di dunia. Lesley Bannatyne dan Cindy Ott menuliskan bahwa koloni Anglikan di Amerika Serikat Selatan dan koloni Katolik di Maryland "menerima Malam Para Kudus dalam kalender gereja mereka", meskipun kaum Puritan New England menentang dengan keras hari libur tersebut, serta perayaan tradisional lain dari gereja yang dibentuknya, termasuk Natal. Almanak dari akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 tidak memberikan indikasi bahwa Halloween dirayakan secara luas di Amerika Utara. Imigrasi besar-besaran bangsa Skotlandia dan Irlandia pada abad ke-19 menjadikan Halloween sebagai suatu hari libur besar di Amerika Utara. Walau hanya terbatas pada masyarakat imigran selama pertengahan abad ke-19, perayaan tersebut secara bertahap berasimilasi ke dalam masyarakat arus utama, dan pada dekade pertama abad ke-20 dirayakan dari pesisir ke pesisir oleh masyarakat dari semua latar belakang agama, ras, dan sosial. "Di daerah-daerah Cajun, Misa malam hari dirayakan di pemakaman saat malam Halloween. Lilin-lilin yang telah diberkati ditempatkan di makam-makam, dan para keluarga terkadang menghabiskan waktu sepanjang malam di sisi makam."