Sejarah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) - HMI didirikan di Yogyakarta, Jawa Tengah, Indonesia, pada 5 Februari 1947. Ketika itu keadaan politik di Indonesia masih di tandai oleh daya upaya bersemangat rakyat, melalui revolusi, untuk memenangkan kemerdekaan nasional dari kekeuasaan Belanda. Berdirinya HMI banyak diilhami oleh gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh Jong Islamieten Bond dengan Islam Studies Club-nya. Itulah sebabnya HMI banyak memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan jangka panjang Jong Islamieten Bond. Tujuan semu ingin meyakinkan para cendekiawan muslim muda agar sambil mengejar pendidikan akademisnya, juga menjunjung agama Islam. Dengan menempuh ikhtiar demikian itulah mereka dapat ditempa menjadi intelektual ulama, sekaligus ulama-intelektual.
Prakarsa untuk mendirikan HMI dilakukan oleh beberapa orang mahsiswa universitas Islam di Yogyakarta, Jawa Tengah, atau di sekolah tinggi Islam. Mereka kemudian menjadi kalangan pemimpin yang pertama. Lafran Pane, Kartono, Dahlan Husein, dan Maisaroh Hilal, semuanya mahasiswa sekolah tinggi Islam. Mewreka menyelenggarakan sebuah pertemuan untuk membicarakan bagaiman seharusnya menghadapi tantangan zaman dan menyusun pedoman sebagai penyalur cita-cita para cendekiwan muslim muda. Pertemuan yang dipimpin oleh Lafran Pane itu diselenggrakan di sebuah gedung yang sekarang dimiliki oleh Pastoran Katolik Roma di Jalan Senopati 30, Yogyakarta. Pertemuan diadakan pada 5 Februari 1947, dalam hari kuliah seperti biasa. Kuliah hari itu mengenai tafsir Qur’an yang di berikan oleh Profesor Hussin Yahya, dahulu dekan jurusan Sastra Arab pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah mendapat persetujuan professor, Lafran Pane memberikan pernyataan resmi bahwa sebuah organisasi untuk semua mahasiswa muslim telah didirikan dan diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam (disingkat HMI).
|
Sejarah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) |
Sejarah Sebelum Lahirnya HMI
Sebelum lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam, terlebih dulu berdiri organisasi kemahasiswaan bernama Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) pada tahun 1946 yang beranggotakan seluruh mahasiswa dari tiga Perguruan Tinggi di Yogyakarta, yaitu Sekolah Tinggi Teknik (STT), Sekolah Tinggi Islam (STI) dan Balai Perguruan Tinggi Gajahmada yang pada waktu itu hanya memiliki Fakultas Hukum dan Fakultas Sastra. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta selalu berbau Kolial Belanda. Sering pesta dengan poloniase, dansa serta minum-minuman keras.
Oleh karena Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta dirasa tidak memperhatikan kepentingan para mahasiswa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Tidak tersalurnya aspirasi keagamaan merupakan alasan kuat bagi para mahasiswa Islam untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berdiri dan terpisah dari Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta.
Pada tahun 1946, suasana politik di Indonesia khususnya di Ibukota Yogyakarta mengalami polarisasi antara pihak Pemerintah yang dipelopori oleh Partai Sosialis, pimpinan Syahrir - Amir Syarifuddin dan pihak oposisi yang dipelopori oleh Masyumi, pimpinan Soekiman - Wali Al-Fatah dan PNI, pimpinan Mangunsarkoro - Suyono Hadinoto serta Persatuan Pernyangannya Tan Malaka. Polarisasi ini bermula pada dua pendirian yang saling bertolak belakang, pihak Partai Sosialis (Pemerintah) menitik beratkan perjuangan memperoleh pengakuan Indonesia kepada perjuangan berdiplomasi, pihak oposisi pada perjuangan bersenjata melawan Belanda.
Polarisasi ini membawa mahasiswa yang juga sebagian besar dari mereka adalah pengurus Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta berorientasi kepada Partai Sosialis. Melalu mereka inilah Partai Sosialis mencoba mendominir Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta. Namun mahasiswa yang masih memiliki idealis tidak dapat membiarkan usaha Partai Sosialis hendak mendominir Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta. Dengan suasana yang sangat kritis dikarenakan Belanda semakin memperkuatkan diri dengan terus-menerus mendatangkan bala bantuan dengan persenjataan modern yang kemudian pada tanggal 21 Juli 1947 terjadilah yang dinamakan Agresi Militer Belanda I. Dengan situasi yang demikian para mahasiswa yang berideologi murni tetap bersatu menghadapi Belanda, mencegak setidak-tidaknya mengurangi efek-efek dari polarisasi politik yang sangat melemahkan potensi Indonesia menghadapi Belanda. Karenanya mereka menolah keras akan sikap dominasi Partai Sosialis terhadap mahasiswa yang dinilai akan mengakibatkan dunia mahasiswa terlibat dalam polarisasi politik.
Berbagai hal ini yang mendorong beberapa orang mahasiswa untuk mendirikan organisasi baru. Meskipun sebenarnya jauh sebelum adanya keinginan untuk mendirikan organisasi baru sudah ada cita-cita akan itu, namun selalu ditunda dan dianggap belum tepat. Namun melihat dari berbagai kondisi yang ada dirasa cita-cita yang sudah lama diharapkan itu perlu diwujudkan karena bila membiarkan Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta lebih lama didominasi oleh Partai Sosialis adalah hal yang tidak tepat. Penolakan sikap dominasi Partai Sosialis terhadap Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa Islam, melainkan juga mahasiswa kristen, mahasiswa katolik, serta berbagai mahasiswa yang masih menjunjung teguh ideologi keagamaan.
Sejarah Awal Berdirinya HMI
Himpunan Mahasiswa Islam di prakarsai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa tingkat I (semester I) Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia (UII)). Ia mengadakan pembicaraan dengan teman-temannya mengenai gagasan membentuk organisasi mahasiswa bernafaskan Islam dan setelah mendapatkan cukup dukungan, pada bulan November 1946, ia mengundang para mahasiswa Islam yang berada di Yogyakarta baik di Sekolah Tinggi Islam, Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada dan Sekolah Teknik Tinggi, untuk menghadiri rapat, guna membicarakan maksud tersebut. Rapat-rapat ini dihadiri kurang lebih 30 orang mahasiswa yang di antaranya adalah anggota Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Rapat-rapat yang digelar tidak menghasilkan kesepakatan. Namun Lafran Pane mengambil jalan keluar dengan mengadakan rapat tanda undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir oleh Husein Yahya. Pada tanggal 5 Februari 1947 (bertepatan dengan 14 Rabiulawal 1366 H), di salah satu ruangan kuliah Sekolah Tinggi Islam di Jalan Setyodiningratan 30 (sekarang Jalan Senopati) Yogyakarta, masuklah Lafran Pane yang langsung berdiri di depan kelas dan memimpin rapat yang dalam prakatanya mengatakan : "Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena semua persiapan yang diperlukan sudah beres".
Kemudian ia meminta agar Husein Yahya memberikan sambutan, namun beliau menolak dikarenakan kurang memahami apa yang disampaikan sehubungan dengan tujuan rapat tersebut.
Pernyataan yang dilontarkan oleh Lafran Pane dalam rapat tersebut adalah :
- Rapat ini merupakan rapat pembentukan organisasi Mahasiswa Islam yang anggaran dasarnya telah dipersiapkan.
- Rapat ini bukan lagi mempersoalkan perlu atau tidaknya ataupun setuju atau menolaknya untuk mendirikan organisasi Mahasiswa Islam.
- Diantara rekan-rekan boleh menyatakan setuju dan boleh tidak. Meskipun demikian apapun bentuk penolakan tersebut, tidak menggentarkan untuk tetap berdirinya organisasi Mahasiswa Islam ketika itu, dikarenakan persiapan yang sudah matang.
Setelah dicerca berbagai pertanyaan dan penjelasan, rapat pada hari itu dapat berjalan dengan lancar dan semua peserta rapat menyatakan sepakat dan berketetapan hati untuk mengambil keputusan :
Hari Rabu Pon 1878, 15 Rabiulawal 1366 H, tanggal 5 Februari 1947, menetapkan berdirinya organisasi Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI yang bertujuan :
- Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia
- Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam
- Mengesahkan anggaran dasar Himpunan Mahasiswa Islam. Adapun Anggaran Rumah Tangga akan dibuat kemudian.
- Membentuk Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam.
Adapun peserta rapat yang berhadir adalah Lafran Pane, Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan), Suwali, Yusdi Ghozali; tokoh utama pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII), Mansyur, Siti Zainah (istri Dahlan Husein), Muhammad Anwar, Hasan Basri, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dan Bidron Hadi.
Selain itu keputusan rapat tersebut memutuskan kepengurusan Himpunan Mahasiswa Islam sebagai berikut :
Ketua
Lafran Pane
Wakil Ketua
Asmin Nasution
Penulis I
Anton Timoer Djailani, salah satu pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII)
Penulis II
Karnoto Zarkasyi
Bendahara I
Dahlan Husein
Bendahara II
Maisaroh Hilal
Anggota
Suwali
Yusdi Gozali, pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII)
Mansyur
Sejarah Perkembangan HMI
Sejalan dengan perkembangan waktu, HMI terbelah menjadi dua pasca diselenggarakannya Kongres ke-15 HMI di Medan pada tahun 1983. Pada tahun 1986, HMI yang menerima azas tunggal Pancasila dengan pertimbangan-pertimbangan politis beserta tawaran-tawaran menarik lainnya, rela melepaskan azas Islam sebagai azas organisasnya. Selanjutnya HMI pihak ini disebut sebagai HMI DIPO, dikarenakan bersekretariat di Jalan Pangeran Diponegoro Jakarta. Sedangkan HMI yang tetap mempertahankan azas Islam kemudian dikenal dengan istilah HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).
Karena alasan untuk menyelamatkan HMI dari ancaman pembubaran oleh rezim Orde Baru, maka melalui Kongres Padang disepakatilah penerimaan asas tunggal Pancasila.Penerimaan azas Pancasila di Padang sebenarnya bermula dengan telah adanya penafsiran pasal 28 UUD 45 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul yang ditafsirkan sebagai undang unadang keormasan. Masalah mendasar bagi para kader HMI Padang adalah hasil kongres Palembang 10 Oktober 1971 tentang masuknya PancaSila kedalam mukaddimah AD/ART HMI. karena sudah masuk di mukaddimah, sedangkan mukaddimah harus menjiwai batang tubuh, maka senior HMI Padang pada waktu itu merasa tidak keberatan kalau PancaSila dimasukan kedalam batang tubuh sebagai Azaz, dengan persyaratan alenia I pada mukaddimah AD/ART HMI tidak berobah " bahwa sesungguhnya Allah swt telah menurunkan Islam sebagai ajaran yang haq ke permukaan bumi" Setelah penerimaan azas tunggal itu, HMI yang bermarkas di Jalan Diponegoro sebagai satu-satunya HMI yang diakui oleh negara. Namun pada Kongres Jambi 1999, HMI (DIPO) kembali ke kepada asas Islam. Namun demikian, HMI DIPO dan HMI MPO tidak bisa disatukan lagi, meski azasnya sudah sama-sama Islam. Perbedaan karakter dan tradisi keorganisasian yang sangat besar di antara keduanya, membuat kedua HMI ini sulit disatukan kembali. HMI DIPO nampak lebih berwatak akomodatif dengan kekuasaan dan cenderung pragmatis, sementara HMI MPO tetap mempertahankan sikap kritisnya terhadap pemerintah. Sampai saat ini, HMI merupakan salah satu organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia.
Pimpinan
- HS Mintareja, periode 1947 - 1951
- A. Dahlan Ranuwiharja, periode 1951 - 1953
- Deliar Noer, periode 1953 - 1955
- Amir Rajab Batubara, periode 1955 - 1957
- Ismail Hasan Metareum, periode 1957 - 1960
- Nursal, periode 1960 - 1963
- Sulastomo, periode 1963 - 1966
- Nurcholish Madjid, periode 1966 - 1969
- Nurcholish Madjid, periode 1969 - 1971
- Akbar Tanjung, periode 1971 - 1974
- Ridwan Saidi, periode 1974 - 1976
- Chumaidy Syarif Romas, periode 1976 - 1979
- Abdullah Hehamahua, periode 1979 - 1981
- Ahmad Zacky Siradj, periode 1981 - 1983
- Harry Azhar Azis, periode 1983 - 1986
- M. Saleh Khalid, periode 1986 - 1988
Kongres
- Kongres ke-1 di Yogyakarta pada tanggal 30 November 1947, dengan ketua terpilih HS Mintareja
- Kongres ke-2 di Yogyakarta pada tanggal 15 Desember 1951, dengan ketua terpilih A. Dahlan Ranuwiharja
- Kongres ke-3 di Jakarta pada tanggal 4 September 1953 dengan formatur terpilih Deliar Noer
- Kongres ke-4 di Bandung pada tanggal 14 Oktober 1955 dengan formatur terpilih Amir Rajab Batubara
- Kongres ke-5 di Medan pada tanggal 31 Desember 1957 dengan formatur terpilih Ismail Hasan Metareum
- Kongres ke-6 di Makassar (Ujungpandang) pada tanggal 20 Juli 1960 dengan formatur terpilih Nursal
- Kongres ke-7 di Jakarta pada tanggal 14 September 1963 dengan formatur terpilih Sulastomo
- Kongres ke-8 di Solo (Surakarta) pada tanggal 17 September 1966 dengan formatur terpilih Nurcholish Madjid
- Kongres ke-9 di Malang pada tanggal 10 Mei 1969 dengan formatur terpilih Nurcholish Madjid
- Kongres ke-10 di Palembang pada tanggal 10 Oktober 1971 dengan formatur terpilih Akbar Tanjung
- Kongres ke-11 di Bogor pada tanggal 12 Mei 1974 dengan formatur terpilih Ridwan Saidi
- Kongres ke-12 di Semarang pada tanggal 16 Oktober 1976 dengan formatur terpilih Chumaidy Syarif Romas
- Kongres ke-13 di Makassar (Ujungpandang) pada tanggal 12 Februari 1979 dengan formatur terpilih Abdullah Hehamahua
- Kongres ke-14 di Bandung pada tanggal 30 April 1981 dengan formatur terpilih Ahmad Zacky Siradj
- Kongres ke-15 di Medan pada tanggal 26 Mei 1983 dengan formatur terpilih Harry Azhar Aziz
- Kongres ke-16 di Padang pada tahun 1986, dengan formatur terpilih M. Saleh Khalid, terpecahnya HMI menjadi dua yakni HMI DIPO dan HMI MPO
Kongres HMI DIPO
- Kongres ke-17, di Lhokseumawe, Aceh (6 Juli 1988) dengan formatur terpilih Herman Widyananda
- Kongres ke-18, di Jakarta (24 september 1990)dengan formatur terpilih Ferry Mursyidan Baldan
- Kongres ke-19, di Pekan baru (09 Desember 1992)dengan formatur terpilih M. Yahya Zaini
- Kongres ke-20, di Surabaya (29 Januari 1995)dengan formatur terpilih Taufik Hidayat
- Kongres ke-21 di Yogyakarta (26 Agustus 1997), dengan formatur terpilih Anas Urbaningrum
- Kongres ke-22 di Jambi (03 Desember 1999), dengan formatur terpilih Fakhruddin
- Kongres ke-23 di Balikpapan (30 April 2002), dengan formatur terpilih Cholis Malik
- Kongres ke-24 di Jakarta (23 Oktober 2003), dengan formatur terpilih Hasanuddin
- Kongres ke-25 di Makassar (20 Februari 2006), dengan formatur Terpilih Fajar R Zulkarnaen
- Kongres ke-26 di Palembang (28 Juli 2008), dengan formatur terpilih Arip Musthopa
- Kongres ke-27 Depok pada tanggal 5 - 10 November 2010, dengan formatur terpilih Noer Fajriansyah
- Kongres ke-28 Jakarta pada tanggal 15 Maret - 15 April 2013, dengan formatur terpilih Arief Rosyid Hasan
Kongres HMI MPO
- Kongres ke-16 di Yogyakarta pada tahun 1986, Ketua Umum : Eggy Sudjana
- Kongres ke-17 di Yogyakarta pada tanggal 5 Juli 1988, Ketua Umum : Tamsil Linrung
- Kongres ke-18 di Bogor pada tanggal 10 Oktober 1990, Ketua Umum : Masyhudi Muqarrabin
- Kongres ke-19 di Semarang pada tanggal 24 Desember 1992, Ketua Umum : Agusprie Muhammad
- Kongres ke-20 di Purwokerto pada tanggal 27 April 1995, Ketua Umum : Lukman Hakim Hassan
- Kongres ke-21 di Yogyakarta pada tanggal 28 Juli 1997, Ketua Umum : Imron Fadhil Syam
- Kongres ke-22 di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1999, Ketua Umum : Yusuf Hidayat
- Kongres ke-23 di Makassar pada tanggal 25 Juli 2001, Ketua Umum : Morteza Syafinuddin Al-Mandary
- Kongres ke-24 di Semarang pada tanggal 11 September 2003, Ketua Umum : Cahyo Pamungkas
- Kongres ke-25 di Palu pada tanggal 17 Agustus 2005, Ketua Umum : Muzakkir Djabir
- Kongres ke-26 di Jakarta Selatan pada tanggal 16 Agustus 2007, Ketua Umum : Syahrul Effendi Dasopang
- Kongres ke-27 di Yogyakarta pada tanggal 9 Juni 2009, Ketua Umum : [[]]
- Kongres ke-28 di Pekanbaru, Riau tanggal 14 - 19 Juni 2011, Ketua Umum : Alto Makmuralto
- Kongres ke-29 di Bogor pada tanggal 27 Juni 2013, Ketua Umum : Puji Hartoyo
Lembaga Kekaryaan
- Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), pencetus terbentuknya Lembaga Dakwah Kampus (LDK)
- Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI)
- Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI)
- Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI)
- Lembaga Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LBHMI)
- Lembaga Seni dan Budaya Mahasiswa Islam (LSBI)
- Lembaga Penelitian Mahasiswa Islam (LAPENMI)
- Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI)
Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: "Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.
SIFAT INDEPENDEN HMI
Watak independen HMI adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader HMI. Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola pikir, pola pikir dan pola laku setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan "Hakekat dan Mission" organisasi HMI dalam kiprah hidup berorganisasi bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pikir pola sikap dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk "Independensi etis HMI", sementara watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk "Independensi organisatoris HMI".
Independensi etis adalah sifat independensi secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifat yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA. Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader HMI berarti pengaktualisasian dinamika berpikir dan bersikap dan berprilaku baik "habluminallah" maupun dalam "habluminannas" hanya tunduk dan patuh dengan kebenaran.
Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader HMI dan teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap yang :
- Cenderung kepada kebenaran (hanif)
- Bebas terbuka dan merdeka
- Obyektif rasional dan kritis
- Progresif dan dinamis
- Demokratis, jujur, dan adil
Independensi organisatoris adalah watak independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika HMI, baik dalam kehidupan intern organisasi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Independensi organisatoris diartikan bahwa dalam keutuhan kehidupan nasional HMI secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif, dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara organisasi HMI hanya tunduk serta teguh kepada prinsip-prinsip kebenaran dan objektifitas. Dalam melaksanakan dinamika organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah "commited" dengan kepentingan pihak manapun ataupun kelompok dan golongan maupun, melainkan tunduk dan terikat kepada kepentingan kebenaran, objektivitas, kejujuran, dan keadilan.
Agar secara organisatoris HMI dapat melakukan dan menjalankan prinsip-prinsip independensi organisatorisnya, maka HMI dituntut untuk mengembangkan "kepemimpinan kuantitatif" serta berjiwa independen sehingga perkembangan, pertumbuhan dan kebijaksanaan organisasi mampu diemban selaras dengan hakikat independensi HMI. Untuk itu HMI harus mampu menciptakan kondisi yang baik dan mantap bagi pertumbuhan dan perkembangan kualitas-kualitas kader HMI. Dalam rangka menjalin tegaknya "prinsip-prinsip independensi HMI" maka implementasi independensi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut :
Anggota-anggota HMI terutama aktifitasnya dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan HMI. Oleh karena itu, tidak diperkenankan anggota HMI melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa organisasi atas kehendak pihak luar mana pun juga. Mereka tidak dibenarkan mengadakan komitmen-komitmen dengan bentuk apapun dengan pihak luar HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara organisatoris.
Alumni HMI senantiasa diharapkan untuk aktif berjuang menruskan dan mengembangkan watak independensi etis dimanapun mereka berada dan berfungsi sesuai dengan minat dan potensi dalam rangka membawa hakikat dan mission HMI. Dan menganjurkan serta mendorong alumni untuk menyalurkan aspirasi kualitatifnya secara tepat dan melalui semua jalur pembaktian baik jalur organisasi profesional kewiraswastaan, lembaga-lembaga sosial, wadah aspirasi poilitik lembaga pemerintahan ataupun jalur-jalur lainnya yang semata-mata hanya karena hak dan tanggung jawabnya dalam rangka merealisir kehidupan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Dalam menjalankan garis independen HMI dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, pertimbangan HMI semata-mata adalah untuk memelihara mengembangkan anggota serta peranan HMI dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap negara dan bangsa. Karenanya menjadi dasar dan kriteria setiap sikap HMI semata-mata adalah kepentingan nasional bukan kepentingan golongan atau partai dan pihak penguasa sekalipun. Bersikap independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan menempuh resiko. Ini adalah suatu konsekuensi atau sikap pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap masa kini dan kemampuan dirinya untuk sanggup mewarisi hari depan bangsa dan negara.
STATUS DAN FUNGSI HMI
Status HMI sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam mewujudkan (final gool). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai "kekuatan moral"atau moral force yang senantiasa melaksanakan fungsi "sosial control". Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen.
Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan masyarakat atau "agen of social change". Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan datang.
Oleh sebab itu, fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai "duta-duta pembaharuan sosial" dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.
Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (Hanief) maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan bangsa dan negaranya.