BISNIS ONLINE · KOMPUTER · PAKAIAN ADAT PERNIKAHAN · RESEP KUE LEZAT RESEP MASAKAN SMART PHONE

Sejarah Kerajaan Sumedang

Sejarah Kerajaan Sumedang - Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-16 Masehi di Tatar Pasundan, Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak menonjol sebagaimana kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya di orang Sunda dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.

1. Sejarah Kerajaan Tembongagung
Menurut sumber tradisi, sebelum Kerajaan Sumedanglarang berdiri terlebih dahulu adalah Kerajaan Tembongagung, yang berpusat di Leuwihideung, sebuah desa di Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang sekarang. Prabu Guru Aji Putih dikenal sebagai raja Tembongagung yang pertama (1500). Disebutkan, Prabu Guru adalah saudara dekat Prabu Sri Baduga dari Kerajaan Sunda masa itu (1498-1521) atau yang dikenal sebagai raja Pajajaran. Prabu Guru Haji mempunyai seorang putera bernama Batara Tuntang Buana yang kemudian mendirikan Kerajaan Sumedang Larang. Ketika memimpin kerajaannya yang baru ini, Batara mengganti namanya menjadi Prabu Tajimalela.

Selama Prabu Tajimalela memerintah, beliau menetapkan pusat Kerajaan Sumedang Larang di Leuwihideung, Darmaraja. Prabu Tajimalela mempunyai dua anak laki-laki kembar bernama Lembu Agung dan Gajah Agung. Awalnya Lembu Agung yang diminta ayahnya menjadi raja, tapi dia menolak dan digantikan oleh adiknya Gajah Agung menjadi raja. Sebagai Raja Tembong Agung, Gajah Agung memindahkan ibukota Tembong Agung ke tempat yang baru di Ciguling, desa Pasanggrahan, di Sumedang Selatan sekarang.

Gajah Agung digantikan oleh anaknya bernawa Wirajaya untuk menjadi raja berikutnya di Tembongagung. Setelah menjadi raja, Wirajaya bergelar Sunan Pagulingan dan berkedudukan di ibukota yang lain lagi yaitu di Cipameungpeuk. Sepanjang tiga raja pertama yang memimpin Kerajaan Sumedang Larang, kedudukan ibukotanya masih berpindah-pindah. Menurut catatan sejarah, perpindahan menunjukkan tanda bahwa kerajaan belum mempunyai keraton yang permanen sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja serta keturunannya. Biasanya hal ini berlangsung selama beberapa keturunan berikutnya.

Setelah itu pemerintahan dipimpin oleh Ratu Rajamantri, puteri Sunan Pagulingan. Pada masa itu Kerajaan Sumedang Larang (waktu itu masih disebut Kerajaan Tembongagung), statusnya negara bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Ini terjadi karena Ratu Rajamantri kemudian dijadikan sebagai isteri oleh puteranya Prabu Surawisesa dari Kerajaan Pajajaran (yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi). Karena menjadi isteri Raja Prabu Siliwangi, kedudukan Ratu Rajamantri digantikan oleh saudaranya yang bernama Sunan Guling.

Sepanjang perjalanan sejarah, raja-raja Tembong Agung berikutnya adalah: Sunan Patuakan, Nyimas Ratu Patuakan, Nyimas Ratu Dewi Inten Dewata. Dalam perkembangan kemudian, Nyimas Ratu Dewi Inten Dewata lebih dikenal dengan nama Ratu Pucuk Umun, setelah dia berkuasa sebagai ratu. Pada masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun, ibukota Tembong Agung pindah lagi ke Kutamaya yang lokasinya di Kota Sumedang sekarang. Pada masa ini pula nama Kerajaan Tembong Agung mulai dirubah menjadi Kerajaan Sumedang Larang, tak berapa lama sebelum masuknya Islam.

2. Sejarah Kerajaan Sumedang Larang
Kerajaan Sumedang Larang semakin dikenal dalam panggung sejarah nasional Indonesia, khususnya di Tanah Parahiyangan, setelah berakhirnya Kerajaan Pajajaran atau Kerajaan Sunda pada tahun 1580. Kemunduran Kerajaan Sunda ini, selain kelemahan dalam sistem pemerintahan, juga terutama disebabkan mulai masuk dan tersebarnya Islam di Pulau Jawa bagian barat yang dilakukan Sunan Gunungjati dari Cirebon.

Sejarah Kerajaan Sumedang
Sejarah Kerajaan Sumedang
Ratu Pucuk Umun kemudian menikah dengan Pangeran Santri seorang ulama Islam dari Cirebon dan murid Sunan Gunungjati. Pernikahan ini melahirkan putera bernama Raden Angkawijaya yang kemudian menjadi raja di Sumedang Larang dan bergelar Prabu Geusan Ulun. Prabu Geusan Ulun dinobatkan pada 18 November 1580, atau bertepatan pada hari jumat dan Hari Raya Idulfitri. Dengan penobatan ini, keberadaan Kerajaan Sumedang Larang semakin kokoh dan dianggap sejajar dengan Kerajaan Padjadjaran, Banten dan Cirebon. Pada masa ini rakyat Sumedang Larang yang sejatinya adalah rakyat Kerajaan Pajajaran, hidup dalam aman, tentram dan makmur. Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Sumedang Larang tampil sebagai kerajaan yang otonom dan merdeka. Wilayahnya meliputi seluruh Jawa Barat, kecuali Cirebon, Banten dan Jakarta masa lalu. 

Ketika Pajajaran akhirnya runtuh, ditambah lagi serangan Kesultanan Banten (sebagai kesultanan Islam). Sumedang Larang yang saat itu sebagai kerajaan yang berdiri sendiri dan merdeka, disepakati menjadi penerus Pajajaran. Sekaligus merebut kembali daerah bawahan Pajajaran di Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu. Kehadiran Kerajaan Sumedang Larang semakin menambah kemarahan Kesultanan Banten. Banten menganggap, dialah kerajaan yang menjadi pemenang peperangan antara Pajajaran-Banten, dan seyogyanya berhak atas seluruh wilayah Kerajaan Pajajaran, termasuk Kerajaan Sumedang Larang. Itulah sebabnya, Sumedang Larang adalah target serangan Kesultanan Banten berikutnya.

Dalam Babad Sumedang disebutkan, semasa kejayaan Pajajaran ada empat pejabat tinggi Pajajaran yang berasal dari Sumedang. Keempat orang ini mulanya mengabdi pada Pajajaran. Ketika Pajajaran runtuh, keempat pejabat tinggi ini diamanahkan untuk menyerahkan mahkota bernama Binokasih, dari Raja Pajajaran waktu itu (Raja Mulya Surya Kencana), kepada Prabu Geusan Ulun. Ini berarti, Kerajaan Sumedang Larang adalah penerus Kerajaan Pajajaran atau Kerajaan Sunda. Mahkota Raja Pajajaran ini sekarang disimpan pada Museum Prabu Geusan Ulun di Kota Sumedang.

Kemudian keempat petinggi kerajaan tadi atau kandage lante itu juga kembali ke Sumedang dan menjadi orang dekat Prabu Geusan Ulun. Mereka sering dimintakan nasehat dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan raja. Pada masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun, pusat pemerintahan atau ibukota Kerajaan Sumedang Larang terletak di Kutamaya.

Pada mulanya rakyat kerajaan Sumedang Larang berjumlah 9000 jiwa. Mereka dipimpin oleh 40 kandaga (kepala/pemimpin rakyat). Semula kehidupan di Sumedang Larang dalam keadaan tentram. Beberapa waktu kemudian kehidupan di kerajaan itu diwarnai dengan kemelut yang terkait dengan kekuasaan lain. Pada bagian akhir abad ke-16 terjadi konflik antara Sumedang Larang dengan Cirebon. Hal itu terjadi akibat Prabu Geusan Ulun melarikan Ratu Harisbaya (puteri berasal dari Madura yang menjadi anggota keluarga kerajaan Mataram) yaitu istri selir Sultan Cirebon, Panembahan Ratu 1 yang memerintah tahun 1570-1649.

Prabu Geusan Ulun pergi ke Demak untuk memperdalam ilmu agama islam. Dalam perjalanan pulang dari Demak, ia bertamu ke Sultan Cirebon. Ia tinggal beberapa lamanya di Keraton Pakungwati. Dalam kesempatan itu, Prabu Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya. Sama halnya dengan Prabu Geusan Ulun, waktu itu Ratu Harisbaya masih berusia muda, sedangkan Sultan Cirebon sudah berusia lanjut. Pertemuan Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya berlanjut dengan terjalinnya cinta kasih di antara keduanya, padahal waktu itu Ratu Harisbaya sedang mengandung anak dari Sultan Cirebon.

Atas kesepakatan Ratu Harisbaya, secara diam-diam Prabu Geusan Ulun membawa Ratu Harisbaya ke Sumedang Larang. Mengetahui hal itu, Sultan Cirebon marah dan mengerahkan pasukan menyerang Sumedang Larang. Dalam menghadapi serangan pasukan Cirebon, tampil kepahlawanan empat satria asal Pajajaran, yaitu Embah Jayaperkosa, Embah Nangganan, Embah Kondanghapa, dan Embah Terong Peot. Sementara menghadapi serangan pasukan Cirebon, Prabu Geusan Ulun memindahkan ibukota kerajaan dari Kutamaya ke Dayeuhluhur yang lebih terlindung, karena tempat itu terletak di puncak bukit. Hal itu dilakukan untuk menghindari jatuh korban manusia yang banyak, khususnya rakyat Sumedang Larang.

Konflik antara Sumedang Larang dengan Cirebon akhirnya dapat diselesaikan secara damai. Tercapailah kesepakatan bahwa Prabu Geusan Ulun harus menyerahkan daerah Sindangkasih (Majalengka) kepada Sultan Cirebon. Penyerahan daerah itu dimaksudkan sebagai imbalan penyerahan Ratu Harisbaya dari Sultan Cirebon kepada Prabu Geusan Ulun. Dengan kata lain, Sindangkasih diserahkan oleh Prabu Geusan Ulun kepada Sultan Cirebon sebagai pengganti talaknya kepada Ratu Harisbaya.

Beberapa waktu kemudian Ratu Harisbaya melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Raden Aria Suriadiwangsa, anak tiri Prabu Geusan Ulun. Dari perkawinan dengan Nyai Mas Gedeng Waru, Prabu Geusan Ulun memiliki anak laki-laki bernama Rangga Gede. Prabu Geusan Ulun memerintah sepanjang 1580-1608 bertepatan dengan wafatnya saat itu tahun 1608. Pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh anak tirinya yaitu Raden Aria Suriadiwangsa, karena putera kandungnya Rangga Gede, belum dewasa waktu itu. Demikian pula tiga putera dari Ratu Harisbaya masih anak-anak.

Pada masa pemerintahan Raden Aria Suriadiwangsa (1608-1624) luas wilayah kerajaan Sumedang Larang menjadi berkurang, karena Karawang, Ciasem, Pamanukan, dan Indramayu melepaskan diri dari kekuasaan Sumedang Larang. Karawang, Ciasem, dan Pamanukan bergabung dengan Tatar Ukur, sedangkan Indramayu bergabung dengan Cirebon. Sementara itu, ibukota kerajaan dipindahkan lagi dari Dayeuh Luhur ke Tegalkalong.

Pada waktu itu Sumedang Larang menjadi bulan-bulanan penguasa Banten dan Mataram. Keduanya berambisi untuk menguasai Sumedang Larang. Sementara itu, kompeni yang berkedudukan di Batavia (Jakarta) sejak tahun 1619 juga ingin menguasai daerah Priangan, termasuk Sumedang Larang. Dengan kata lain, Sumedang Larang terjepit antara persaingan tiga kekuatan (Banten, Mataram, dan Kompeni), sedangkan Sumedang Larang sendiri tidak memiliki kekuatan bersenjatayang memadai untuk melawan tiga kekuatan tersebut.

Menghadapi kondisi itu, Raden Aria Suriadiwangsa akhirnya memutuskan untuk berserah diri kepada pihak Mataram. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1620. Alasan utamanya adalah karena Raden Aria Suriadiwangsa sebagai anak Ratu Harisbaya memiliki hubungan keluarga dengan pihak Mataram. Waktu itu Kesultanan Mataram diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645). Setelah Raden Aria Suriadiwangsa berserah diri ke pihak Mataram, status Sumedang Larang turun dari kerajaa menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Sejak itulah Sumedang dan beberapa daerah Tatar Ukur serta Galuh disebut Priangan dan berada di bawah kekuasaan Mataram.

Artikel keren lainnya: